Beberapa hari lalu, seorang pasien saya, salah
satu kakinya harus diamputasi. Pasien, sebut saja Tuan A, relatif masih
muda, sekitar 45 tahun, diketahui menderita diabetes sejak lima tahun
yang lalu. Pasien dirawat karena mengalami luka yang tidak
sembuh-sembuh, luka akibat komplikasi diabetes yang tidak terkontrol
dengan baik..... Kemudian, "bagaimana reaksi pasien, keluarga
pasien ketika saya beritahu, bahwa kakinya harus diamputasi, dipotong?"
"Tolong dokter, jangan sampai begitu dokter, apapun, berapapun biaya
yang harus dikeluarkan agar kaki suami saya dapat diselamatkan, kami
sanggup dokter" kata istrinya dengan suara terisak. Sementara, air mata mulai mengalir dari ke dua pelupuk matanya..
Kasus
seperti tentu saja bukan yang pertana kali saya lihat. Selama saya
menjadi dokter mungkin tidak terhitung lagi. Ada yang kehilangan ke dua
kakinya, tangannya, matanya, ginjalnya dan organ lainnya. Bermacam
reaksi pasien, keluarga pasien menghadapi hal ini. Tapi, pada dasarnya
mereka sangat keberatan, kecewa, sedih yang luar biasa. Andaikan mereka
bisa menolak pasti akan ditolaknya. Seperti pada kasus di atas, kalau
mereka mempunyai berbungkah emas, kalung, gelang, intan berlian, semua
akan dilepaskannnya bila itu dapat menyelamatkan kaki mereka.
Lalu,
itu baru sebuah kaki, pada pasien ini, hanya sebagian kakinya,
bungkahan emas, intan berlian tidak berharga lagi dibandingkan kaki
tadi. Nah, "Bayangkan kalau itu ke dua kakinya, tangannya, berapa nilainya?"
Memang,
kaki, tangan, mata, lidah, telinga, hidung, dan lain-lain itu tidak
dapat dihargai dengan materi, tidak bisa dinilai dengan uang. Coba saja
misalnya, bila seseorang menginginkan sebuah kaki Anda, "apakah Anda
bersedia memberikannya, walaupun untuk itu orang tersebut akan
menggantinya dengan sebuah mobil mewah, rumah besar yang menjadi impian
Anda selama ini?"
Ada suatu cerita yang pernah
saya baca dari sebuah buku yang menggambarkan tidak terhingga nilainya
sebuah kaki. Ceritanya kira-kira begini: di suatu kota di negeri entah
berantah, seorang pemuda petani yang sering berjalan di dekat sebuah
taman istana yang indah dan luas, melihat seorang pemuda yang selalu
bertelekan pada sebuah kursi malas yang mahal. Di sekitar pemuda itu,
beberapa orang wanita cantik juga senantiasa mendampinginya. Dalam hati,
pemuda petani bergumam, "bila saya yang duduk di situ, alangkah
senang dan bahagianya saya, hanya duduk-duduk di kursi malas, di
lingkungan taman yang luas, dengan aneka warni-warni bunga yang mekar
semerbak, dan di dampingi wanita-wanita muda yang cantik".
Terbayang
juga oleh pemuda petani ini, pondoknya yang sangat sederhana, jangankan
taman yang luas seperti taman istana itu, pekarangan kecil yang ada di
depannya hanya dipenuhi tanaman sayur-sayuran untuk kebutuhan makan
sehari-hari.
Kemudian, suatu waktu, ketika pemuda petani ini lewat di depan taman istana itu dengan temannya............ "kamu
lihat pemuda itu, yang setiap hari hanya duduk di sana, bersama wanita
cantik seperti itu, alangkah beruntungya kalau saya yang di sana"
Ungkapnya tiba-tiba kepada temannya......... Oh ya," Anda mau duduk di sana, seperti pangeran itu? Tanya temannya. "Tahukah kamu dengan pangeran itu? " ...Ia
adalah seorang yang lumpuh, kalau pergi ke mana-mana harus diangkat
oleh pembantunya, ke kamar mandi sekalipun, apa kamu menginginkan hal
seperti itu, kamu bersedia ke dua tungkai mu diganti dengan kursi malas
dan wanita-wanita cantik begitu?" Mendengar itu, sang pemuda tanpa berpikir panjang, menjawab: "Oh, tidak, jelas saya tidak mau, biarlah saya begini saja".
Sayang,
kebanyakan kita, Anda, bahkan saya sendiri baru menyadari nilai,
manfaat sebuah kaki misalnya, di saat kita sakit atau kehilangan. Saya
juga pernah merasakan alangkah nikmatnya, bermanfaatnya sendi lutut
yang sehat, ketika lutut saya sakit. Kisahnya begini, waktu itu hujan
gerimis, pasien di tempat saya yang biasanya praktek sudah menunggu
cukup lama. Dari rumah sakit, seperti biasa yang sudah saya lakukan
dalam dua tahun terakhir, dengan menggowes sepeda agak lebih cepat, saya
ingin buru-buru sampai di tempat praktek. Setelah tiba di depan halaman
tempat praktek, saya berbelok agak tajam, karena licin akibat hujan,
saya terjatuh. Waktu jatuh, saya berusaha menumpu pada telapak tangan
kanan saya, tapi lutut kanan saya membentur aspal cukup keras. Terasa
agak sakit terutama pada sendi lutut, tapi saya abaikan, saya tetap
melangkah menuju ruang praktek di depan pasien-pasien saya yang sedang
menunggu, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Malam
harinya waktu mau tidur, lutut saya agak bertambah sakit. Pagi setelah
bangun ketika saya harus ke belakang, saya menjerit kesakitan saat lutut
itu mau ditekuk, sakitnya bukan main. Hampir selama tiga bulan saya
merasakan kesakitan akibat lutut yang hanya memar waktu jatuh itu.
Selama itu pula gerakan, aktivitas saya jadi terhambat. Saya tidak bisa
duduk bersimpuh waktu shalat, tidak dapat bersila waktu duduk,
mendayung sepeda dengan sempurna, bahkan bila salah menggeser kaki saja,
akan timbul rasa nyeri yang kuat.
Nah, seperti
telah saya singgung sebelumnya, kita baru menyadari nilai sesuatu
setelah kehilangannya, termasuk sebuah kaki. Pada saat kaki itu sakit,
pada saat kaki harus diamputasi, baru kita sadar tingginya nilai, harga
sebuah kaki. Namun, waktu sehat, jangankan untuk memperhatikan,
memeliharanya, kadang-kadang kita lupa bahwa kita sebenarnya mempunyai
kaki. Kita lupa bahwa kaki ini sebenarnya sangat bernilai dan tidak
dapat dihargai seberapapun.
Di samping itu, sebuah
kaki, tungkai tidak hanya sekedar agar Anda dapat bergerak ke sana ke
mari, tidak hanya untuk berlari ketika Anda dikejar anjing, Anda
buru-buru ke belakang ketika perut Anda mules, atau berdiri tegak di
atas podium saat Anda berpidato. Tapi, kaki juga mempunyai makna
surgawi, rohani. Karena kakilah yang akan menapak, membawa anda ke
tempat Ibadah, Masjid, berziarah, panti sosial, atau anda harus berlari,
berenang menyelamatkan seorang anak yang mau tenggelam, membimbing
orang tua yang akan menyeberang.
Namun, kaki, ke
dua tungkai Anda jugalah yang akan ikut membawa Anda ke Neraka, kalau
Anda tidak menggunakannya sesuai rencana Allah, Anda rajin melangkah ke
tempat maksiat, Anda berdiri di depan orang banyak hanya untuk sekedar
menipu, membodohi orang lain. Oleh karena itu, perhatikanlah kaki Anda,
ke mana dia mau melangkah, dan sesuai anjuran Nabi, "basuhlah waktu mau tidur". Basuh tidak hanya sekedar pengertian fisik, membersihkan kotoran, tetapi menumbuhkan kesadaran, "ke mana saja kaki ini sudah melangkah hari ini?"